TIMOR LESTE. Lama saya menetap disana. Sebagai jurnalis hanya beberapa tempat yang belum saya datangi. Lospalos, Oecuse, juga pulau Atauro. Padahal Atauro ada di depan mata. Dili-Atauro tiga jam perjalanan laut.
Jacob Ximenes, sejawatku di harian Suara Timor Timur (STT) selalu cerita tentang Atauro. Dia ingin saya kesana. Katanya, Atauro sangat indah. Temanku Otelio Ote juga sama. Dia bangga menjadi orang Oecusse.
Tapi cerita tentang Lospalos justru saya dapat dari seorang teman di Jakarta. Dia kagum pada Lospalos. Lebih kagum lagi pada sebuah pulau kecil bernama Jaco. Baginya Jaco adalah ‘cincin permata’ Timor Leste. Jaco adalah soerga terindah dan tersembunyi.
Soerga Di Hutan Kopi
Jaco, Atauro dan Oecuse memang indah. Namun keindahan lainnya saya dapatkan pada hutan kopinya. Ermera, Maubisse, Liquica, Ainaro, Same dan Aileu adalah greget keindahan lainnya dari Bumi Lorosa’e.
Dua tahun saya bekerja di proyek perkebunan kopi. Menjejajahi perkebunan kopi rakyat sambil melakukan rejuvinase. Yaitu meremajakan tanaman kopi tua. Umurnya antara 30, 40 tahun bahkan lebih. Kopi-kopi tua itu kami tebang batangnya hingga tinggal 90 cm dari permukaan tanah.
Disaat seperti itu barulah saya sadar sedang berada di ‘soerga tersexy’ di hutan kopi arabica. Hawanya ‘sejuk sensual’. Pohon pelindungnya tinggi besar. Rindang. Sinar mentari sampai tak terlihat.
Dan ketika kopi mulai berbunga, aroma semerbak. Wanginya khas. Tajam. Menggelitik lubang hidung, turun ke dasar hati. Lalu ketika buah kopi memerah, soerga itu benar-benar nyata. Kami hemu cafe (minum kopi) di hutan kopi. Rasanya serasa di soerga.
Kenapa? Sebab tangan yang menggoreng, meracik bumbu dan menumbuk kopi di lesung sangatlah ahli. Tangan-tangan itu seolah terlatih sejak masih dalam kandungan ibunya. Turun temurun. Mengapa keahlian mama-mama di hutan kopi tidak ditampilkan (disuguhkan) kepada wisatawan yang datang?
Cafe Di Hutan Kopi
Bagi saya, kopi adalah wangi Timor Leste sebagai bangsa. Budaya. Jaman Portu, jaman Indonesia, jaman merdeka sekarang ini kopi tetap jadi andalan ekspor Timor Leste. Bangsa-bangsa di dunia sudah tahu citarasa khas cafe arabika dari Bumi Lorosae. Rasanya meresap sampai sumsum dan ubun-ubun hati.
Salahkah bila di kampung halaman sendiri komoditi andalan eskport itu dikembangkan secara unik? Spesifik? Misalnya, mendirikan ‘cafe’ di hutan-hutan kopi. Dipadukan dengan keindahan panorama ‘soerga’ yang ada di sekitar hutan kopi.
Misalnya, hutan kopi di ketinggian pebukitan Liquica, pastilah membius. Wisatawan selain menikmati citarasa kopi terenak. Tapi juga menikmati kota Liquica di depan mata. Menikmati seliweran kapal, perahu, sampan, boat yang berlayar di laut Timor persis di depan mata.
Ermera, Aileu, Maubisse, Same dan Ainaro pun sama. Dari ketinggian hutan kopi antara 1.000 sampai 2.000 meter diatas permukaan laut panorama yang tersaji pasti menakyubkan.
Sawah-sawah membentang dibawahnya. Sungai meliuk-liuk. Petani tampak sedang bekerja. Anak-anak bermain dengan sapi dan kerbau. Disana ada ribuan hektar hutan kopi sedang berbunga. Juga hutan cemara. Dan ketika senja, kabut putih turun sampai di permukaan tanah.
Oooh indaaahnya. Betapa sexynya hutan kopi di Timor Leste. Ide ini mungkin tidak masuk akal. Tidak layak secara ekonomis. Namun, dengan kemajuan teknologi informasi yang membuat dunia hanya seukuran hp, semuanya menjadi serba mungkin.
Sekarang mau atau tidak. Berani atau tidak. Sebab setiap jengkal tanah di kawasan hutan kopi merindukan lahirnya para pahlawan kopi sejati. Para pegiat ekonomi yang mampu mengawinkan citarasa enak cafe Timor dengan keindahan parawisata di Bumi Lorosa’e. Salam dan doa…Amiiin.
Penulis: Yoss Gerard Lema
1,300 total views, 3 views today






